Hidup yang Kau Selamatkan Bisa Jadi Hidupmu Sendiri

Ikhsan Abdul Hakim
16 min readJun 1, 2020
Sumber: Koleksi pribadi Flanner O’Connor/Rose Library, Emory University via The New Yorker.

Cerpen Flannery O’Connor

Sang wanita tua dan putrinya sedang duduk di beranda saat Tuan Shiftlet mendatangi mereka untuk pertama kalinya. Wanita tua itu beringsut ke ujung kursi goyang dan membungkuk, menangkupkan tangan untuk memayungi mata dari matahari terbenam yang menusuk. Sang putri tak dapat melihat jauh-jauh dan terus bermain dengan jari-jarinya. Meski sang wanita tua tinggal di tempat terpencil ini hanya dengan sang putri dan tak pernah melihat Tuan Shiftlet sebelumnya, dia tahu, bahkan dari jauh, bahwa ia seorang pengelana dan tak perlu ditakuti. Lengan kiri mantelnya digulung ke atas untuk menunjukkan hanya ada setengah lengan di sana, dan tubuh kurusnya sedikit miring ke samping seakan angin sejuk mendoyongkannya. Ia mengenakan setelan kota warna hitam dan topi lakan cokelat yang terangkat di ujung depan dan ia menjinjing sebuah kotak alat dari timah. Ia datang, tak tergesa, di atas jalan si wanita tua, mukanya menengok ke arah matahari yang seakan menyeimbangkan diri di puncak gunung kecil.

Sang wanita tua tak mengubah posisinya hingga lelaki itu hampir masuk ke halaman; lantas dia bangkit dengan satu tangan mengepal di pinggulnya. Sang putri, seorang gadis bongsor dalam gaun organdi pendek warna biru, melihatnya kali itu dan melonjak dan mulai mengentak-entakkan kaki dan menunjuk dan mengeluarkan suara sengau yang heboh.

Tuan Shiftlet berhenti di halaman, meletakkan kotaknya di tanah dan mengangkat topi kepadanya seakan dia tak sedikit pun gusar; lantas ia berpaling ke wanita tua itu dan melepas topinya. Ia punya rambut hitam licin yang panjang, tergantung rata dari bagian tengah muka hingga ujung telinga di kedua sisi. Mukanya berpangkal dari dahi lebar yang memakan lebih dari setengah bidang wajahnya, dan berakhir tepat dengan roman yang seimbang di atas rahang lancip yang menonjol. Ia tampak seperti pria muda, tapi tatapannya tenang dan penuh kekecewaan seolah ia mengerti hidup sepenuhnya.

“Selamat sore,” kata sang wanita tua. Dia seukuran tiang pagar aras dan mengenakan topi pria abu-abu yang membenam rendah di kepalanya.

Pengelana itu berdiri memandangnya dan tak menjawab. Ia berbalik dan memandang matahari terbenam. Ia mengangkat lengan utuh dan buntungnya pelan-pelan hingga keduanya menunjuk hamparan langit dan tubuhnya membentuk salib yang bengkok. Sang wanita tua melihatnya dengan tangan terlipat di dada seakan dia adalah pemilik matahari, dan putrinya mengamati, kepalanya melongok dan tangan gemuknya bergantung pasrah di pergelangan. Dia punya rambut merahmuda-keemasan yang panjang dan mata sebiru leher merak.

Ia berpose seperti itu selama hampir lima puluh detik sebelum ia memungut kotaknya dan melangkah ke beranda dan berhenti di undakan terbawah. “Nyonya,” ucapnya dalam suara nasal yang teguh, “Aku akan memberikan apa pun untuk tinggal di tempat aku bisa melihat matahari melakukan itu tiap senja.”

“Lakukanlah setiap senja,” wanita tua berkata dan kembali duduk. Sang putri juga duduk kembali dan melihat lelaki itu dengan lirikan hati-hati seakan ia seekor burung yang datang terlalu dekat. Ia mencondongkan tubuh, merogoh saku celana, dan sejurus kemudian ia menggenggam sebungkus permen karet dan menawarkan satu ke gadis itu. Gadis itu mengambil dan mengupasnya lalu mengunyah tanpa memalingkan mata dari si lelaki. Ia juga menawari sang wanita tua tapi dia hanya mengangkat bibir atasnya untuk menunjukkan bahwa dia tak punya gigi.

Tatapan pucat nan tajam Tuan Shiftlet telah menyapu segala yang ada di halaman-pompa di pojok rumah dan pohon ara besar tempat tiga atau empat ayam sedang bertengger-dan berpindah ke kandang di mana ia melihat punggung persegi otomobil yang berkarat. “Kau menyopir, Nyonya?” ia bertanya.

“Mobil itu sudah lima belas tahun tak bergerak,” kata wanita tua. “Hari ketika suamiku mati, benda itu tak lagi menyala.”

“Tidak ada yang seperti dulu, Nyonya,” balasnya. “Dunia ini hampir bobrok.”

“Itu benar,” kata wanita tua. “Asalmu dari sekitar sini?”

“Namaku Tom T. Shiftlet,” gumamnya, mengamati ban mobil.

“Senang bertemu denganmu,” kata wanita tua. “Namaku Lucynell Crater dan putriku Lucynell Crater. Apa yang kaulakukan di sekitar sini, Tuan Shiftlet?”

Ia menaksir mobil itu adalah Ford keluaran 1928 atau ’29. “Nyonya,” katanya, berbalik dan memberi perhatian penuh pada sang wanita tua, “izinkan aku memberitahumu. Ada seorang dokter di Atlanta yang membedah dan mengambil jantung manusia-jantung manusia,” ulangnya, mencondongkan diri ke depan, “dicabut dari dada seseorang dan digenggamnya,” dan ia mengangkat tangan, telapak tangan mencengkeram, seakan sedikit terbebani oleh sebongkah jantung, “dan mempelajarinya seolah itu anak ayam berusia sehari, dan nyonya,” katanya, membiarkan jeda panjang signifikan saat kepalanya menjurus ke depan dan mata berwarna lempungnya berbinar, “dia tak lebih tahu soal jantung itu daripada kau atau aku.”

“Itu benar,” kata sang wanita tua.

“Kenapa, jika ia membedahnya ke setiap sudut, ia masih tak lebih tahu dibanding kau atau aku. Apa tebakanmu?”

“Tidak ada,” kata wanita tua dengan bijak. “Dari mana asalmu, Tuan Shiftlet?”

Lelaki itu tak menjawab. Ia merogoh sakunya dan mengeluarkan sekantung tembakau dan sebungkus kertas sigaret dan melinting sebatang rokok, fasih dengan satu tangan, lalu memasangnya di bibir dalam posisi menggantung. Lalu ia mengambil sekotak korek kayu dari saku dan menyalakan sebatang dengan gesekan di sepatunya. Ia memegang korek itu seolah ia sedang mempelajari misteri api yang merayap panas ke kulitnya. Sang putri mulai mengeluarkan suara gaduh dan menunjuk tangan lelaki itu dan mengibas-ngibaskan jemari ke arahnya, tapi saat api hampir menyentuhya, ia menundukkan kepala dengan tangan menangkup seolah hendak membakar hidungnya sendiri dan menyalakan rokok.

Ia melemparkan sisa korek yang mencampakkan segaris abu ke langit sore. Tatapan licik menampak di wajahnya. “Nyonya,” katanya, “sekarang ini, orang-orang rela melakukan apa saja bagaimanapun caranya. Aku bisa saja bilang bahwa namaku Tom T. Shiftlet dan aku datang dari Tarwater, Tennessee, tapi kau belum pernah melihatku sebelumnya: bagaimana kautahu aku tak berbohong? Bagaimana kautahu namaku bukan Aaron Sparks, Nyonya, dan aku berasal dari Singleberry, Georgia, atau bagaimana kautahu aku bukan George Speeds dan datang dari Lucy, Alabama, atau bagaimana kautahu aku bukanlah Thompson Bright dari Toolafalls, Mississippi?”

“Aku tak tahu apa pun tentangmu,” gerutu sang wanita tua, kesal.

“Nyonya,” katanya, “orang tidak peduli bagaimana mereka berbohong. Mungkin hal terbaik yang bisa kukatakan padamu adalah, aku seorang lelaki; tapi dengarlah nyonya,” katanya sebelum menjeda dan membuat nada bicaranya lebih mengganggu, “apa itu lelaki?”

Sang wanita tua mulai memamah biji-bijian. “Apa yang kaubawa dalam kotak timah itu, Tuan Shiftlet?” tanya dia.

“Alat,” katanya. “Aku seorang tukang kayu.”

“Ya, jika kau ke sini untuk kerja, aku bisa memberimu makan dan menyediakan tempat tidur tapi aku tidak sanggup membayar. Kukatakan itu sebelum kau mulai bekerja,” kata dia.

Tidak ada jawaban seketika dan tak ada ekspresi apa pun di wajah lelaki itu. Ia bersandar ke tiang kayu dua-empat yang ikut menyangga atap beranda. “Nyonya,” katanya pelan-pelan, “ada orang-orang tertentu yang menganggap sejumlah hal lebih berarti daripada uang.” Sang wanita tua bergoyang tanpa kata dan putrinya melihat jakun yang naik-turun di leher lelaki itu. Ia berkata ke wanita tua bahwa kebanyakan orang mementingkan uang, tapi ia bertanya apa tujuan seseorang dilahirkan. Ia bertanya apakah manusia diciptakan untuk mengejar uang, atau apa. Ia bertanya ke wanita tua apa yang dipikirkannya tentang tujuan hidupnya, tapi si wanita tua tak menjawab, dia tetap duduk bergoyang dan mengira-ngira apakah seorang pria bertangan satu bisa memasang atap baru di rumah kebunnya. Lelaki itu bertanya banyak hal yang tak dijawabnya. Ia berkata ke sang wanita tua bahwa ia berumur dua puluh delapan tahun dan telah menjalani bermacam kehidupan. Ia pernah jadi penyanyi gospel, mandor di rel kereta, pembantu di sebuah salon rintisan, dan sempat mengunjungi radio selama tiga bulan bersama Uncle Roy and the Red Creek Wranglers. Ia bilang pernah berperang dan terluka dalam dinas militer negerinya dan mengunjungi setiap tanah asing dan di mana pun ia melihat orang-orang tidak peduli dengan cara mereka melakukan sesuatu. Katanya, ia tak dibesarkan seperti orang-orang itu.

Bulan kuning yang gemuk tampak di cecabang pohon ara, seolah hendak bertengger menemani ayam-ayam di sana. Ia berkata bahwa seorang manusia harus pergi ke perdesaan untuk melihat dunia seutuhnya dan ia berharap tinggal di tempat terpencil di mana ia bisa melihat matahari terbenam seperti ini tiap senja seolah Tuhan sengaja membuatnya demikian.

“Kau sudah menikah atau masih lajang?” tanya sang wanita tua.

Hening cukup lama. “Nyonya,” akhirnya ia berkata, “di mana kau bisa menemukan seorang wanita polos hari ini? Aku tak menginginkan tiap sampah yang bisa kuambil begitu saja.”

Sang putri membungkuk dalam-dalam, mengulaikan kepala nyaris di antara dua lututnya, mengamati lelaki itu lewat celah segitiga yag dibuat rambutnya; dan ia tiba-tiba jatuh tengkurap di lantai dan mulai merengek. Tuan Shiftlet menegakkannya dan membantunya duduk kembali.

“Apakah dia putri kecilmu?” tanya lelaki itu.

“Satu-satunya,” timpal wanita tua “dan dia gadis paling manis di dunia. Aku tak akan melepaskannya untuk apa pun di bumi ini. Dia pandai juga. Dia bisa menyapu lantai, masak, mencuci, memberi makan ayam, dan mencangkul. Aku tak akan menyerahkannya bahkan untuk sepeti permata.”

“Jangan,” katanya dengan ramah, “jangan pernah membiarkan satu lelaki pun merenggutnya darimu.”

“Setiap lelaki datang mengejarnya,” kata sang wanita tua. “Aku harus tetap berada di sekitar tempat ini.”

Dalam gelap, mata Tuan Shiftlet memperhatikan sebagian bumper otomobil yang berkilau dari jauh. “Nyonya,” katanya, mengentakkan lengan buntungnya ke atas seolah itu sanggup menunjuk rumah dan halaman dan pompa si wanita tua, “tak ada apa pun di pekarangan ini yang tak bisa kuperbaiki untukmu, pria licik bertangan satu atau bukan. Aku seorang lelaki,” katanya dengan gengsi yang masam, “meskipun aku tidak utuh. Aku punya,” katanya, mengetukkan buku jari ke lantai untuk menekankan bobot perkataannya kemudian, “kecerdasan moral!” dan wajahnya menembus gelap ke sorotan cahaya dan ia menatap wanita tua itu sambil mengagumi diri sendiri atas kebenaran yang mustahil ini.

Sang wanita tua tidak terkesan oleh perkataan itu. “Aku sudah bilang kau bisa menetap dan bekerja untuk makan,” katanya, “jika kau tak keberatan tidur di mobil itu.”

“Aku tak keberatan, nyonya” katanya dengan seringai kegembiraan, “biarawan zaman dulu tidur di peti jenazah!”

“Mereka tak secanggih kita,” timpal si wanita tua.

Esoknya ia mulai membenahi atap rumah kala Lucynell, sang putri, duduk di atas batu dan melihatnya bekerja. Ia butuh kurang dari seminggu hingga perubahan yang ia buat di tempat itu mulai terlihat. Ia menambal jalan setapak di depan dan belakang rumah, membangun kandang babi baru, membenahi pagar, dan mengajari Lucynell, yang sepenuhnya tuli dan tak pernah bicara satu kata pun seumur hidupnya, untuk melafalkan kata “burung”. Gadis bongsor berwajah semu merah itu mengikutinya ke mana pun, mengucap “Brrurrnng ddburrrnngn” dan menepuk-nepukkan tangannya. Sang wanita tua mengamati dari kejauhan, diam-diam bersyukur. Dia sangat mengidamkan seorang menantu.

Tuan Shiftlet tidur di bangku belakang mobil yang keras dan sempit dengan kaki menyembul ke luar jendela. Ia menyimpan pisau cukur dan sekaleng air dalam peti yang jadi meja samping tempat tidurnya dan ia memasang sebingkai cermin yang disandarkan ke kaca belakang mobil dan menggantung rapi mantelnya dengan gantungan yang mengampai di sisi jendela.

Sore hari, ia duduk di undakan dan mengobrol dengan si wanita tua dan Lucynell yang duduk bergoyang di kursi-kursi mereka yang mengapit lelaki itu. Tiga gunung si wanita tua berwarna hitam membelakangi langit gelap-kebiruan dan dilintasi planet-planet, juga bulan sesudah meninggalkan para ayam. Tuan Shiftlet mengungkap alasannya memperbaiki perkebunan ini karena ketertarikan personal yang tumbuh di benaknya. Katanya, ia bahkan hendak membuat otomobil itu berjalan kembali.

Ia telah membuka kap mobil dan mempelajari mekanismenya dan bilang ia tahu mobil itu dirakit pada era di mana mobil benar-benar dirakit. Coba bayangkan, katanya, satu orang memasang satu baut dan orang lain memasang baut lain dan orang lain memasang baut lain, jadi itu kerja satu orang per bautnya. Itulah mengapa kau harus membayar sangat mahal untuk sebuah mobil: kau membayar kerja semua orang itu. Sekarang jika kau hanya perlu membayar satu orang, kau mendapat harga yang lebih murah dan mobil yang dikerjakan dengan ketertarikan personal, dan itu akan jadi mobil yang lebih baik. Sang wanita tua sepakat bahwa demikianlah adanya.

Tuan Shiftlet bilang bahwa kacaunya dunia disebabkan tak ada orang yang peduli, atau berhenti dan membereskan masalah apa pun. Katanya, ia tak akan pernah bisa mengajari Lucynell bicara satu kata pun jika ia tidak peduli dan menetap cukup lama.

“Ajari dia mengucapkan kata lain,” pinta sang wanita tua.

“Kau ingin dia mengatakan apa lagi?” tanya Tuan Shiftlet.

Senyum wanita tua itu lebar dan ompong dan sugestif. “Ajari dia mengucap ‘kue gula,’” katanya.

Tuan Shiftlet sudah tahu apa yang ada di pikiran si wanita tua.

Esok hari ia mulai mematri otomobil dan sorenya ia berkata bahwa jika si wanita tua mau membeli tali kipas, ia mampu bikin mobil itu menyala.

Sang wanita tua bilang ia akan memberinya uang. “Kaulihat gadis itu di sana?” dia bertanya, menunjuk Lucynell yang duduk di lantai selangkah dari mereka, memandang lelaki itu, mata birunya berseri dalam kegelapan. “Jika ada seorang lelaki hendak membawanya pergi, aku akan berkata, ‘Tak ada seorang pun di bumi yang bisa memisahkanku dari gadis manisku!’ tapi jika dia berkata, ‘Nyonya, aku tak ingin membawanya pergi, aku menginginkannya di sini,’ akan kukatakan, ‘Tuan, aku tak menyalahkanmu. Aku hanya tak ingin melewatkan kesempatan hidup di tempat tinggal permanen dan mendapat gadis paling manis sedunia untukku sendiri. Kau bukanlah orang tolol,’ aku akan berkata seperti itu.”

“Berapa umurnya?” tanya Tuan Shiftlet dengan santai.

“Lima belas, enam belas,” kata sang wanita tua. Gadis itu sebenarnya hampir tiga puluh tahun, tapi karena kepolosannya tak mungkin ada orang menduga dia setua itu.

“Sekalian mengecat mobil itu kukira ide bagus,” ucap Tuan Shiftlet. “Kau pasti tak menginginkannya berkarat.”

“Kita lihat nanti,” timpal si wanita tua.

Esok hari ia berjalan ke kota dan kembali dengan suku cadang yang dibutuhkan serta sejeriken bensin. Sorenya, bunyi mengerikan timbul dari kandang mobil dan sang wanita tua bergegas keluar rumah, mengira Lucynell mendapat masalah di pekarangan. Lucynell duduk di atas kandang ayam, mengentak-entakkan kaki dan berteriak, “Burrnng bdbrrrunngn!” tapi seruannya ditenggelamkan suara mobil. Dengan seberondong letupan mobil itu muncul dari dalam kandang, bergerak pelan dengan keagungan yang garang. Tuan Shiftlet di kursi kemudi, duduk sangat tegak. Ia menampilkan ekspresi kerendah-hatian yang sungguh-sungguh seakan ia baru saja membangkitkan orang mati.

Malam itu, bergoyang di kursi beranda, sang wanita tua mengungkapkan kepentingannya, segera. “Kau menginginkan gadis polos, kan?” dia bertanya simpatik. “Kau tak menginginkan sampah.”

“Tidak, aku tak ingin,” timpal Tuan Shiftlet.

“Seseorang yang tak bisa bicara,” lanjut si wanita tua, “tak bisa melancangimu atau berkata kasar. Kau akan merasa beruntung punya yang seperti itu. Itulah dia,” dan wanita tua itu menunjuk Lucynell yang duduk bersila di kursinya, memeluk sepasang kakinya.

“Itu benar,” ia mengakui. “Dia tak akan memberiku masalah.”

“Sabtu,” kata wanita tua, “kau dan dia dan aku bisa pergi ke kota dan melangsungkan pernikahan.”

Tuan Shiftlet mengendurkan posisi duduknya di undakan.

“Aku tak bisa menikah sekarang,” katanya. “Apa yang kau inginkan butuh biaya dan aku tak punya sepeser pun.”

“Apa yang kau butuhkan dengan uang?” dia bertanya.

“Ini perlu uang,” katanya. “Sebagian orang akan melakukan apa saja bagaimanapun caranya sekarang ini, tapi jalan pikiranku mengatakan, aku tak akan menikahi wanita yang tak bisa kuajak jalan-jalan selayaknya orang istimewa. Aku ingin membawanya ke hotel dan memanjakannya. Aku tak akan menikahi putri bangsawan Windsor,” katanya tegas, “kecuali aku bisa mengajaknya ke hotel dan memberinya sesuatu yang enak untuk dimakan.

“Aku dididik seperti itu dan tak ada yang bisa kulakukan mengenainya. Ibuku yang tua mengajariku semuanya.”

“Lucynell bahkan tak tahu apa itu hotel,” gerutu si wanita tua. “Dengarlah, Tuan Shiftlet,” katanya, membungkuk di kursi, “kau akan mendapat tempat tinggal permanen dan sumur yang dalam dan gadis paling polos sedunia. Kau tak butuh uang. Biar kuberitahu: tak ada tempat di dunia untuk pengelana cacat melarat yang sebatang kara.”

Kata-kata jahat itu bertalun di kepala Tuan Shiftlet seperti gerombolan elang di puncak sebatang pohon. Ia tak seketika menjawab. Ia melinting sebatang rokok dan menyalakannya dan ia berkata dalam suara datar, “Nyonya, seorang manusia terbagi dalam dua bagian, tubuh dan jiwa.”

Wanita tua itu mengatupkan sepasang gusinya.

“Tubuh dan jiwa,” ulang si lelaki. “Sang tubuh, nyonya, seperti sebuah rumah: ia tak ke mana pun; tapi jiwa, nyonya, seperti otomobil: selalu bergerak, selalu . . .”

“Dengar, Tuan Shiftlet,” katanya, “sumurku tak pernah kering dan rumahku selalu hangat di musim dingin dan tak ada tagihan apa pun ke tempat ini. Kau boleh ke gedung pengadilan untuk mengeceknya sendiri. Dan di kandang sana ada otomobil yang bagus.” Dia memasang umpan dengan hati-hati. “Kau bisa mengecatnya hari Sabtu. Aku yang bayar.”

Dalam gelap, senyum Tuan Shiftlet mengembang seperti ular letih yang dibangunkan api. Sejurus kemudian ia berkata, “Aku sekadar bicara bahwa jiwa seseorang sangat berarti baginya melebihi apa pun. Aku harus membawa istriku tamasya di akhir pekan, tanpa perlu mengkhawatirkan ongkos. Aku akan pergi ke mana pun jiwaku menghendaki.”

“Aku akan memberimu lima belas dolar untuk piknik akhir pekan,” kata si wanita tua dengan nada marah. “Itu hal terbaik yang bisa kulakukan.”

“Uang segitu mungkin cukup untuk bensin dan hotel,” katanya. “Itu tak cukup untuk memberinya makan.”

“Tujuh belas lima puluh,” kata si wanita tua. “Itu semua yang kupunya jadi tak ada gunanya kaucoba memerasku. Kau bisa membawa bekal makan siang.”

Tuan Shiftlet amat terluka oleh kata “memeras”. Ia tak ragu kalau wanita tua itu punya lebih banyak uang yang disimpan di kasurnya, tapi ia sudah bilang bahwa ia tak tertarik dengan uangnya. “Akan kupastikan itu cukup,” katanya dan bangkit dan melangkah pergi tanpa berunding lebih lanjut.

Hari Sabtu, tiga orang itu berkendara ke kota dengan mobil yang catnya belum kering dan Tuan Shiftlet dan Lucynell menikah di kantor urusan agama sedangkan si wanita tua jadi saksi. Saat mereka keluar dari gedung pengadilan, Tuan Shiftlet mulai memusar-musarkan lehernya di kerah baju. Ia terlihat muram dan sengit seakan ia baru saja dihina ketika tadi seseorang memeganginya. “Itu sama sekali tak membuatku senang,” katanya. “Hanya sesuatu yang dilakukan seorang wanita di sebuah kantor, bukan apa-apa kecuali mengisi kertas dan tes darah. Apa yang mereka tahu soal darahku? Jika mereka hendak membedah dan mengambil jantungku,” katanya, “mereka tak akan tahu apa pun tentangku. Itu sama sekali tak menyenangkanku.”

“Itu menyenangkan hukum,” tukas si wanita tua dengan tajam.

“Hukum,” Tuan Shiftlet berkata dan meludah. “Hukum itulah yang tak menyenangkanku.”

Ia mengecat mobil itu dengan warna hijau gelap dengan pita kuning mengelilinginya tepat di bawah jendela. Ketiga orang itu naik di kursi depan dan si wanita tua berucap, “Bukankah Lucynell tampak cantik? Seperti boneka bayi.” Lucynell didandani dengan gaun putih yang direnggut ibunya dari sebuah peti dan topi Panama dipakaikan di kepalanya dengan seikat ceri kayu warna merah di pinggirnya. Sesekali ekspresi tenangnya disulih oleh angan-angan kerdil, yang asing dan rahasia, bagai tunas hijau di tengah gurun. “Kau ketiban hadiah!” seru sang wanita tua.

Tuan Shiftlet tak mengindahkannya.

Mereka kembali ke rumah untuk mengantar wanita tua itu dan mengambil bekal makan siang. Ketika mereka hendak pergi, si wanita tua berdiri memandang dari balik jendela mobil, dengan jari-jemari memegangi bingkai kaca. Air mata mulai merembah dari sepasang matanya, dan merembes sepanjang wajah berkerutnya yang kotor. “Aku belum pernah berpisah dengannya selama dua hari,” katanya.

Tuan Shiftlet menyalakan mesin.

“Dan aku tak akan membiarkan lelaki mana pun memilikinya, kecuali kau, karena aku menilai kau akan melakukan hal yang benar. Sampai jumpa, Manisku,” katanya, meremas lengan gaun putih sang putri. Lucynell menatap lurus kepadanya dan terlihat tidak memperhatikan wanita tua itu sama sekali. Tuan Shiftlet memajukan mobil dan si wanita tua harus melepaskan genggamannya.

Pagi itu cerah dan lapang dan dinaungi langit biru pucat. Meski mobil itu hanya melaju tiga puluh mil per jam, Tuan Shiftlet membayangkan perjalanan dahsyat dan ia menukik dan mengepot, itu semua terjadi di kepalanya hingga ia lupa akan paginya yang pahit. Ia selalu menginginkan otomobil tapi tak pernah mampu membelinya. Ia berkendara sangat kencang karena ia ingin tiba di Mobile saat petang.

Sekali-kali ia berhenti melamun cukup lama untuk memandangi Lucynell di jok sampingnya. Gadis itu telah menghabiskan bekalnya selepas mereka keluar dari pekarangan dan kini dia memetik ceri di topinya satu per satu dan melemparkan mereka ke luar jendela. Ia jadi merasa tertekan meski sudah mendapatkan mobilnya. Ia telah menyetir kira-kira seratus mil manakala ia memutuskan bahwa gadis itu pasti sudah lapar kembali, dan di kota kecil berikutnya, ia berhenti di depan rumah makan bercat aluminium bernama The Hot Spot, dan menggamit sang istri dan memesankannya seporsi ham dan bubur jagung. Perjalanan itu membuat Lucynell mengantuk dan setelah duduk di bangku, dia segera membaringkan kepala di konter dan memejamkan mata. Tak ada orang lain di The Hot Spot kecuali Tuan Shiftlet dan pemuda di belakang konter, seorang pemuda pucat dengan kain lap berminyak yang menggantung dari bahunya. Sebelum ia siap menyajikan makanan, gadis itu sudah mendengkur lembut.

“Sajikan kepadanya saat dia sudah bangun,” kata Tuan Shiftlet. “Aku akan bayar sekarang.”

Pemuda itu membungkuk padanya dan mengamati juraian rambut merahmuda-keemasan dan sepasang mata yang setengah pejam. Lalu ia mendongak dan menatap Tuan Shiftlet, “Dia seperti malaikat,” desisnya.

“Pengompreng,” jelas Tuan Shiftlet. “Aku tak bisa menunggu. Aku harus ke Tuscalossa.”

Pemuda itu membungkuk lagi dan menyisirkan jemarinya dengan sangat hati-hati ke untaian rambut keemasan ketika Tuan Shiftlet pergi.

Ketika ia meninggalkan tempat itu dan berkendara sendiri, ia merasa lebih tertekan daripada sebelumnya. Cuaca sore semakin panas dan pengap dan bentang alam pedalaman menghampar luas. Jauh di kedalaman langit, segumpal badai sabar menanti tanpa jilatan petir seakan ia hendak mengisap setiap partikel udara dari bumi sebelum mengamuk. Di saat seperti ini, Tuan Shiftlet tak ingin sendirian. Juga, ia merasa bahwa seorang pengendara mobil punya tanggung jawab ke orang lain dan ia memantau jalanan untuk mencari pengompreng. Kadang kala ia melihat papan tanda yang memperingatkan: “Hati-hati berkendara. Hidup yang kau selamatkan bisa jadi hidupmu sendiri.”

Jalan sempit itu diapit oleh padang gersang dan di sana-sini berdiri pondok atau pom bensin di atas lahan yang baru saja dibuka. Matahari mulai membenam di depan otomobil itu. Ia bola yang memerahkan dunia, terlihat sedikit datar di sisi bawah dan atasnya dari balik kaca jendela Tuan Shiftlet. Ia melihat seorang bocah berpakaian overal dan sepotong topi abu-abu berdiri di pinggir jalan dan ia memelankan mobilnya dan berhenti di depan bocah itu. Sang bocah tidak mengacungkan jempol untuk mengompreng, ia hanya berdiri di sana, tapi ia membawa sebuah koper kardus kecil dan topinya dipasang sedemikian rupa, mengisyaratkan bahwa ia meninggalkan suatu tempat dengan maksud baik. “Nak,” kata Tuan Shiftlet, “Kulihat kau butuh tumpangan.”

Bocah itu tidak bilang ia butuh atau tidak tapi ia membuka pintu dan masuk, dan Tuan Shiftlet mulai berkendara lagi. Anak itu menaruh koper di pangkuan dan melipat tangan di atasnya. Ia memalingkan muka dari Tuan Shiftlet dan memandang ke luar jendela. Tuan Shiftlet merasa tak tahan. “Nak,” katanya sebentar berselang, “Aku punya ibu terbaik di dunia jadi kutahu kau sekadar dapat yang terbaik kedua.”

Bocah itu memberinya sekilas pandangan muram dan kembali memalingkan muka ke jendela.

“Tak ada yang lebih manis,” lanjut Tuan Shiftlet, “sebagai anak bunda. Dia mengajari si bocah doa pertamanya di pangkuan, dia memberi cinta saat tak ada orang lain melakukannya, dia memberi tahu apa yang benar dan apa yang tidak, dan dia memastikan anaknya berbuat benar. Nak,” katanya, “aku tak pernah menyesali satu hari pun dalam hidupku sebesar aku menyesali hari di mana aku meninggalkan ibuku yang tua.”

Bocah itu beringsut di joknya tapi ia tak memandang Tuan Shiftlet. Ia menguraikan tangannya dan menggenggam pegangan pintu.

“Ibuku seorang malaikat,” kata Tuan Shiftlet dalam suara yang sangat tegang. “Tuhan mengambilnya dari surga dan memberikannya padaku dan aku meninggalkannya.” Tatapannya segera diliputi oleh selapis air mata. Mobil itu hampir tidak bergerak.

Bocah itu berpaling dengan murka di joknya. “Setan mengambilmu!” teriaknya. “Emakku karung bongsor penuh kutu dan ibumu seekor sigung busuk!” dan dengan itu ia mengempaskan daun pintu dan melompat keluar dengan kopernya, melemparkan diri ke parit.

Tuan Shiftlet amat terkejut hingga sekitar seratus kaki ia tempuh pelan-pelan dengan pintu yang masih terbuka. Segumpal mega, berwarna persis seperti topi bocah itu dan berbentuk seperti lobak, kini turun menutupi matahari, dan yang lain, terlihat lebih buruk, meringkuk jauh di belakang mobil. Tuan Shiftlet merasa bahwasanya kebusukan dunia hendak menelannya. Ia mengangkat lengan dan membiarkannya terkulai di atas dada. “Oh Tuhan!” ia berdoa. “Mohon keluarlah dan bersihkan bumi ini dari kekotoran!”

Lobak itu terus menurun pelan-pelan. Selang beberapa menit, muncul gemuruh guntur dan tetesan hujan yang fantastis, seperti pucuk-pucuk kaleng, berdentaman di bagian belakang mobil Tuan Shiftlet. Secepatnya ia menginjak pedal gas dan dengan lengan buntung mencuat ke luar jendela ia membalap hujan yang semakin deras menuju Mobile.

Cerpen ini berjudul asli “The Life You Save May Be Your Own”, pertama diterbitkan dalam bunga rampai A Good Man Is Hard To Find (1955). Naskah terjemahan bersumber dari The Complete Stories (1971).

Originally published at http://jalanwonosari.wordpress.com on June 1, 2020.

--

--

Ikhsan Abdul Hakim

"Fathers and teachers, I ponder, 'What is hell?' I maintain that it is the suffering of being unable to love."